How The Mighty Fall

Standard

Alhamdulillah bisa menulis lagi di blog ini. Sebenarnya pingin nulis secara konsisten. Mengingat menulis itu bagi saya merupakan salah satu media untuk mengelola emosi. Namun ada beberapa kesempatan untuk menulis malah terdistrak oleh hal-hal lain.

Nggak nyari-nyari alasan sih. Namun waktu luang yang ada lebih banyak buat video call sama anak-anak atau nggak buat istirahat.

Sebenarnya ide tulisan kali ini bukan ide original, namun sepertinya merupakan hal menarik yang perlu diketahui dan kayaknya akan bermanfaat baca yang mbaca.

Kapan waktu lalu nggak sengaja ketemu blognya pak andikristianto.wordpress.com dalam salah postingannya yang berjudul “Benang Merah Perusahaan yang kolabs”.

Beliau menjlentrengkan (menjelaskan) salah satu buku dari Jim Collins yang berjudul “How The Mighty Fall”.

How The Mighty Fall

Jim Collins menyimpulkan kalau perusahaan yang pernah sukses bisa gagal dan hancur karena berbagai cara dan dalam berbagai durasi rentang waktu.

Walaupun demikian, research Collins berhasil menarik benang merah pola perusahaan yang kolaps padahal dulu pernah sukses. Intinya, walau perjalanan perusahaan sukses jadi kolaps beda-beda, tapi polanya ternyata sama : ada 5 fase yang dilewati perusahaan sukses yang kemudian kolaps. Ini sebenernya inti cerita buku ‘How the Mighty Fall’

Saya sadur dari postingan pak Andi Kristianto Kelima fase itu adalah :

1. Hubris Born of Success.

Perusahaan itu sukses menemukan dan menjalankan satu bisnis, kemudian jadi arogan karena kesuksesannya. Bentuk arogansinya macem-macem : jadi malas belajar, mulai menekan partner dengan deal yang berat sebelah dan yang lain semacam itu.

2. Undisciplined Pursuit of More.

Perusahaan yang sukses dengan bisnis utamanya, terus kemudian jadi arogan dan merasa bahwa dengan mudah dia bisa sukses juga di tempat lain di luar bisnis utamanya. Akibatnya perusahaan itu mengejar hal baru tapi tanpa disiplin yang diperlukan untuk membangun bisnis barunya

3. Denial of Risk and Peril.

Mimpi kesuksesan di bisnis baru yang dikerjakan tanpa disiplin itu membuat perusahaan jadi nggak sensitif sama resiko dari bisnis barunya, enggan mendengar masukan realistis dan mulai berlebihan mengambil resiko.

4. Grasping for Salvation.

Ketika inisiatif bisnis baru tidak berjalan sesuai harapan, yang sering terjadi adalah sibuk mencari-cari alasan pembenaran dan kemudian melakukan langkah-langkah reaktif yang sebenernya tidak menyelesaikan akar masalah. Beberapa mulai menyadari dan menyesali bahwa ketika perusahaan berkembang seharusnya bisnis dibangun secara konsisten di sekitar pengembangan core competence…sayangnya biasanya udah terlambat.

5. Capitulation to Irrelevance or Death.

Udah masuk fase terakhir ini biasanya pada praktisnya udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Pertanyaannya tinggal masih mau fight nyelamatin sisa-sisa atau keluar aja nyatain bangkrut. Di tahap ini either perusahaan itu dianggap bisnisnya udah nggak menarik pelanggan, dianggap nggak relevan dan/atau mati aja.

Well, kalau dicermati ada kemungkinan ga semuanya harus mirip banget tapi rata-rata garis besarnya demikian. So Mendeteteksi tanda – tanda sedari awal memang lebih baik dari pada yang sudah terlanjur ke stadium akhir.

Mengetahui tanda – tanda tersebut juga menjadi langkah bijak untuk menghidari hal – hal yang menyebabkan kolepsnya perusahaan. Sebagai pengambil keputusan tentu tulisan diatas akan sangat bermanfaat. Diresapi, Dihayati dan di evaluasi.
#Salam Manfaat

Pentingnya sebuah Feedback

Standard

Feedback sangat berguna dalam usaha menyempurnakan suatu barang atau jasa. Feedback yang berasal dari calon pembeli dapat memberikan data spesifik apa – apa saja yang diinginkan seorang calon konsumen.

Untuk memaksimalkan feedback yang didapat, supaya feedback tersebut efektif menyempurnakan sebuah produk:

  1. Feedback didapat dari pembeli potensial. Bukan dari sahabat atau teman. Apalagi feedback dari orang yang masih dalam satu usaha tersebut.
  2. Buka pikiran – Akhiri pertanyaan. Saat mengumpulkan feedback, lebih banyak mendengar dari pada banyak bicara. Berikan dorongan konsumen untuk berbicara. Pilah siapa/apa/kapan/dimana/kenapa/bagaimana agar pertanyaan mengena. Amati bagaimana tindakan mereka dengan dengan apa yang mereka sampaikan
  3. Keep Calm. Mendengarkan feedback harus telinga tebal. Ga semua orang suka bayi nya (produk) yang baru lahir dikatakan jelek. Nggak usah menyerang ataupun bertahan. Keinginan mereka adalah bahan terbaik untuk membuat perbaikan
  4. Perlu penyaringan feedback yang masuk. Walaupun feedback memberikan informasi yang krusial untuk membangun sebuah produk agar disukai konsumen. Namun perlu juga dilakukan penyaringan data feedback yang masuk. Respon terjeleknya adalah ketika konsumen acuh terhadap barang. Sehingga produk tidak dapat perbaikan yang membangun.
  5. Memberikan peluang kepada konsumen potensial untuk melakukan repeat order.

Perlu juga dicari apa yang menyebabkan konsumen enggan untuk membeli… semoga bermanfaat. Novotel – Balikpapan